NASIKH
MANSUKH
Isna
Asyaroh Makiyah Kartika Sari, Eni’matul Masruroh
Mahasiswa
jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial kelas E
Angkatan
2015
Fakultas
ilmu tarbiyah dan keguruan
Universitas
Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
E-mail: isnamecca@gmail.com
Abstrak
Al
qur’an merupakan firman allah yag diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui
malaikat jibril sebagai pedoman hidup bagi manusia di dunia dan di akhirat. Di
dalam al-qur’an terkandung tata cara, atau hukum hukum yang mengatur kehidupan
manusia, akan tetapi karena kehidupan berjalan dinamis dan kondisi manusia selalu
berubah, maka diperlukan adanya perubahan dan pembaharuan hukum yang relevan
dengan kondisi manusia. Maka disinilah terlihat hikmah dari adanya nasikh dan
mansukh, yang pada hakekatnya ditetapkan oleh Allah SWT untuk memudahkan hidup
manusia.
Abstract
Al Qur'an is the word of Allah that revealed to prophet Muhammad SAW through the angel Gabriel as guidelines For human life in the world and hereafter. In the quran contained system, or the laws that set the human Life, but because life goes dynamic and human condition always change, it is necessary to change and reform the laws that are relevant to the human condition. So this is where seen the wisdom of their nasikh and mansukh, which is essentially determined by Allah SWT to facilitate human life.
Keyword: alqur’an, nasikh, mansukh
Pendahuluan
Pembahasan
nasikh dan mansukh merupakan salah satu pembahasan penting dalam ilmu tafsir,
karena sebagaimana kita ketahui bahwa ayat ayat al-qur’an memiliki keterkaitan
antara satu ayat dengan lainya, yang mana tidak menutup kemungkinan akan
menimbulkan adanya kontradiksi. Begitu pula kondisi kehidupan yang berubah
seiring berkembangnya zaman, menimbulkan adanya perubahan-perubahan dalam hukum
hukum syari’at yang mana tujuanya untuk mempermudah hidup manusia. Ilmu nasikh
dan mansukh dibutuhkan dalam memahami ilmu alqur’an, karena nasikh dan mansukh
juga berkaitan dengan pembahasan lainya seperti takhsis, asbabun nuzul, Dsb.
Tulisan
ini memuat tentang nasikh dan mansukh, termasuk di dalamnya adalah pengertian
nasikh dan mansukh baik dari segi Bahasa atau istilah, bentuk-bentuk nasikh dan
mansukh, hikmah adanya nasikh dan mansukh, dan beberapa hal lain yang berkaitan
dengan nasikh dan mansukh. Yang diharapkan mampu membantu pembaca dalam
memahami ilmu nasakh dan mansukh.
Pengertian
Nasikh dan mansukh
Secara etimologi (bahasa): Nasakh dapat berarti izalah yang artinya
menghilangkan atau meniadakan.Dalam al-Qur’an dinyatakan:
فَيَنْسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ
آيَاتِهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيم
”Kemudian
Allah meniadakan atau menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan,lalu Allah
memperkuat ayat-ayat-Nya.Allah Maha Mengetahui dan Mahabijaksana.”(QS.Al-Hajj:52).
Dalam ungkapan orang Arab juga dikatakan: nasakhat asy-syamsu
azh-zhilla (matahari menghilangkan bayang-bayang itu).
Kata nasakh juga berarti التحويل
(pengalihan).Seperti pengalihan harta warisan (تناسح
الموارس).Maksudnya perpindahan harta warisan dari seseorang kepada
orang lain.
Kata nasakh juga berarti التبديل (mengganti
atau menukar sesuatu dengan yang lain) ini dapat kita lihat pada ayat yang
berbunyi:
وَإِذَا
بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ
Dan jika Kami gantikan sebuah ayat dengan
ayat yang lain (QS.An-Nahl: 101).
Kata nasakh juga berarti النقل artinya menyalin,memindahkan atau
mengutip apa yang ada didalam buku,sebagai contoh:
نسحت الكتاب
Aku memindahkan atau mengutip isi buku
persis menurut kata dan penulisannya. Dalam
al-Quran juga dijelaskan:
إِنَّا كُنَّا نَسْتَنْسِخُ مَا
كُنْتُمْ تَعْمَلُون
“sesungguhnya Kami menyuruh untuk menasakh
apa dahulu kalian kerjakan.’’(Al-Jatsiyah:29).Maksudnya,Kami(Allah) memindahkan
amal perbuatan ke dalam lembaran-lembaran catatan amal.
Secara terminologi (istilah):Nasakh adalah pengahapusan
suatu hukum syara’ dan pengantiannya dengan hukum syara’ lain yang turun
sesudahnya. Ayat yang mengahapus ini kemudian diistilahkan dengan nama Nasikh,sedang
ayat yang terhapus diistilahkan sebagai Mansukh.
Nasakh secara istilah juga dapat dikategorikan pada dua
kategori,yaitu kategori menurut ulama Mutaqaddimin (abad I hingga abad III) dan
ulama Mutaakhirin. Para ulama mutaqaddimin memperluas arti naskh sehingga
mencakup: (a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang
ditetapkan kemudian; (b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang
bersifat khusus yang datang kemudian; (c) penjelasan yang datang kemudian
terhadap hukum yang bersifat samar; (d) penetapan syarat terhadap hukum
terdahulu yangbelum bersyarat.
Bahkan ada diantara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan
hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah manjadi mansukh apabila
ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti misalnya
perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode mekkah disaat kamu
muslim, dianggap telah di naskh oleh perintah atau izin berperang pada periode
Madinah, sebagaimana ada yang beranggapan bahwa ketetapan hukum islam yang
membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-islam merupakan bagian dari
pengertian naskh.
Pengertian yang demikian luas tersebut lalu dipersempit oleh para
ulama’ mutaakhirin. Menurut mereka naskh terbatas pada ketentuan hukum yang
datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya
masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku
adalah yang ditetapkan terakhir.
Sedangkan Mansukh adalah hukum yang
diangkat (الحكم المرتفع ) atau yang dihapuskan. Misalnya pada ayat
yang menjelaskan tentang warisan (mawarits),yang mengahapuskan (nasikh)
hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat,sebagaimana yang dijelaskan
pada ayat ini.
“Allah
mewasiatkan kepada kamu tentang pembagian pusaka untuk anak kamu,bahwa bagi
anak laki-laki mendapat harta pusaka dua kali lipat anak perempuan….’’(QS.An-Nisa
:11).
Ayat ini
menasikhan hukum wasiat dari ibu dan bapak kepada anak mereka.
“Diwajibkan
atasmu (umat Islam),’’Bila kematian telah dekat kepada salah seorang
kamu,bila dia meninggalkan harta, ialah agar berwasiat bagi ibu bapa dan para
karibnya dengan baik.Itu suatu kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa’’.(QS.Al-Baqarah: 180).
Bentuk-bentuk nasikh dan mansukh dalam alqur’an
Naskh dalam alqur’an ada tiga macam:
Pertama, naskh tilawah (bacaan) dan hukumnya. Misalnya apa yang
di riwayatkan oleh muslim dan yang lain, dari aisyah, ia berkata:
كان فيما أنزل عشر رضعات معلومات
يحرّمن فنسخن بخمس معلومات. فتوفّي رسول الله صلّى الله عليه وسلّم (وهنّ ممّا
يقرأ من القرآن)
“diantara yang diturunkan kepada beliau
adalah ‘sepuluh susuan yang maklum itu menyebabkan muhrim’, kemudian
(ketentuan) ini dinaskh oleh “lima susuan yang maklum’. Maka ketika rasulullah
wafat ‘lima susuan’ ini termasuk ayat qur’an yang dibaca.”
Kata-kata aisyah, “lima susuan ini
termasuk ayat al-qur’an yang dibaca,” pada lahirnya menunjukan bahwa tilawahnya
masih tetap. Tetapi tidak demikian halnya, karena ia terdapat dalam mushaf
utsmani. Kesimpulan demikian dijawab, bahwa yang dimaksud dengan perkataan
aisyah tersebut ialah ketika beliau menjelang wafat.
Yang jelas ialah bahwa tilawahnya
itu telah dinasakh (dihapuskan) tetapi penghapusan ini tidak sampai kepada
semua orang kecuali sesudah rasulullah wafat. Oleh karena itu ketika beliau
wafat, sebagian orang masih tetap membacanya.
Kedua,
nasakh hukumnya saja, sedang tilawahnya tetap. Contoh dari naskh ini adalah
ayat iddah, sedangkan tilawahnya tetap. Mengenai naskh macam ini banyak
kitab-kitab karangan yang mana di dalamnya terdapat bermacam-macam ayat, yang
mana ayat-ayat tersebut setelah diteliti ternyata sedikit jumlahnya, seperti
yang dijelaskan oleh qadi abu bakr ibnul-arabi.
Dalam hal naskh ini mungkin timbul pertanyaan, apakah hikmah
penghapusan hukum sedang tilawahnya tetap?
Jawabanya ada dua segi:
1.
Qur’an,
disamping disamping dibaca untuk diketahui dan diamalkan hukumnya, juga dibaca
karena ia adalah kalamullah yang membacanya mendapatkan pahala. Maka
ditetapkanlah tilawah karena hikmah ini.
2.
Pada umumnya
naskh itu untuk meringankan. Maka ditetapkan tilawah untuk mengingatkan akan nikmat
dihapuskanya kesulitan (masyaqqoh).
Ketiga, naskh tilawah, sedang hukumnya tetap. Seperti contoh ayat yang
menerangkan tentang rajam
الشيخ و الشيخة اذا زنيا فارجموهما
البتّة نكالا من الله والله عزيز حكيم
“orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya
berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari allah.
Dan allah maha perkasa lagi maha bijaksana”.
Sementara itu sebagian ahli ilmu
tidak mengakui naskh semacam ini, sebab khabarnya adalah khabar ahad. Padahal
tidak dibenarkan memastikan turunya al-qur’an dan naskhnya dengan khabar ahad.
Ibnul hassar menjelaskan, naskh itu sebenarnya kembali ke nukilan (kutipan
keterangan) yang jelas dari rasulullah , atau dari sahabat, seperti perkataan
“ayat ini menasakh ayat anu.” Naskh, jelasnya lebih lanjut , dapat ditetapkan
pula ketika terdapat pertentangan pasti (tidak dapat dipertemukan) serta
diketahui sejarahnya, untuk mengetahui mana yang terdahulu dan mana pula yang
datang kemudian. Disamping itu, naskh tidak dapat didasarkan pada pendapat para
mufassir yang awam. Bahkan tidak pula pada ijtihad para mujtahid, tanpa ada
nukilan yang benar dan tanpa ada pertentangan pasti. Sebab naskh mengandung
arti penghapusan dan penetapan suatu hukum yang telah tetap pada masa nabi.
Jadi, yang menjadi pegangan dalam hal ini hanyalah nukilan dan sejarah, bukan
ra’y dan ijtihad. Lebih lanjut ia menjelaskan, manusia dalam hal ini berada
diantara dua sisi yang saling bertentangan. Ada yang berpendapat bahwa khabar
ahad yang di riwayatkan perawi adil tidak dapat diterima dalam hal naskh. Dan
ada pula yang menganggap enteng sehingga mencukupkan dengan pendapat seorang
mufassir atau mujtahid. Dan yang benar ialah kebalikan dari kedua pendapat ini.
Mungkin akan dikatakan, sesungguhnya
ayat dan hukum yang ditunjukanya adalah dua hal yang saling berkaitan, sebab
ayat merupakan dalil bagi hukum. Dengan demikian, jika ayat dinasakh maka
secara otomatis hukumnya pun dinasakh pula. Jika tidak demikian, hal tersebut
akan menimbulkan kekaburan.
Pendapat demikian dijawab, bahwa
keterikatan antara ayat dengan hukum tersebut dapat diterima jika syari’
(allah, rasul) tidak menegakkan dalil atas naskh tilawat dan ketetapan
hukumnya, tetapi jika syari’ telah menegakkan dalil bahwa suatu tilawah telah
dihapuskan sedang hukumnya tetap berlaku, maka keterkaitan itu pun batil. Dan
kekaburan pun akan sirna dengan dalil syar’i yang menunjukan naskh tilawah
sedang hukumnya tetap.
Pembagian naskh
Naskh ada empat bagian:
Pertama,
naskh qur’an dengan qur’an. Naskh ini disepakati kebolehanya serta diyakini
oleh mereka yang mempercayai adanya naskh. Misalnya, ayat yang menjelaskan
tentang idah empat bulan sepuluh hari.
Kedua,
naskh qur’an dengan Sunnah. Naskh ini ada dua macam:
A.
Naskh qur’an
dengan hadits ahad. Jumhur berpendapat, qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadits
ahad, sebab qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadits ahad
adalah dzanni (bersifat dugaan), disamping itu, tidak sah pula menghapus
sesuatu yang ma’lum (sudah diketahui) dengan sesuatu yang madznun (di duga).
B.
Naskh qur’an
dengan hadits mutawatir. Naskh demikian dibolehkan oleh malik, abu hanifah dan
ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah
berfirman:
وما
ينطق عن الهوى. ان هو الّا وحي يوحى
“dan tidaklah yang diucapkanya itu (qur’an)
menurut keinginanya. Tidak lain (qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya). “ (an-najm/53:4-5), dan firmanya pula:
وانزلنا اليك الذكرى لتبيّن للنّاس ما
نزّل اليهم و لعلّهم
“……dan kami turunkan az-zikr (qur’an )
kepadamu, agar engkau menerangkan kepaada manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka……” (an-nahl/16:44). Dan naskh itu sendiri merupakan suatu
penjelasan.
Dalam hal ini asy-syafi’I, ahli zahir dan ahmad dalam riwayatnya
yang lain menolak bentuk naskh ini, berdasarkan firman allah:
ما ننسخ من آية أو ننسها نأت بخير
منها أو مثلها......
“ayat yang kami batalkan atau kami
hilangkan dari ingatan, pasti kami ganti dengan yang lebih baik atau yang
sebanding denganya…..” (al-baqoroh/2:106). Sedangkan dalam hal ini, hadits
tidak lebih baik dari qur’an atau sebanding dengan qur’an menurut mereka.
Ketiga,
naskh Sunnah dengan qur’an. Hal ini diperbolehkan oleh jumhur ulama. Sebagai
contoh adalah masalah menghadap baitul maqdis yang ditetapkan dalam Sunnah dan
di dalam al-qur’an tidak ada dalil yang menunjukkanya. Kemudian ketetapan itu
dinasakh oleh qur’an dalam firman allah ta’ala
فولّ وجهك شطر المسجد الحرام
“….maka hadapkanlah wajahmu ke arah
masjidil haram….” (al-baqarah/2:144)
Tetapi naskh ini juga ditentang oleh syafi’I dalam salah satu
riwayat. Menurutnya, apa saja yang ditetapkan Sunnah tentu didukung oleh
qur’an, dan apa saja yang ditetapkan oleh qur’an tentu didukung oleh Sunnah.
Hal ini karena antara kitab (qur’an ) dengan Sunnah harus senantiasa sejalan
dan tidak boleh bertentangan.
Keempat,
naskh Sunnah dengan Sunnah. Dalam kategori naskh ini terdapat empat bentuk: 1)
naskh mutawatir dengan mutawatir, 2) naskh ahad dengan ahad, 3) naskh ahad
dengan mutawatir, dan 4) naskh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk pertama diperbolehkan,
sedang pada bentuk keempat terjadi silang pendapat seperti halnya naskh
al-qur’an dengan hadis ahad, yang tidak diperbolehkan oleh para jumhur.
Adapun menasakh ijma’ dengan ijma’
ataupun qiyas dengan qiyas, atau menasakh dengan keduanya, maka menurut
pendapat yang shahih maka hukumnya tidak diperbolehkan.
Abd wahhab khallaf menjelaskan bahwa
tidak semua nash dalam al-qur’an atau hadits pada masa rasulullah dapat di
nasakh-kan. Berikut ini adalah ciri-ciri yang tidak dapat dinasakh:
1.
Nash-nash yang
berisi hukum hukum pokok yang tidak berubah oleh perubahan keadaan manusia,
baik atau buruk, atau dalam situasi apapun. Misalnya kewajiban percaya kepada
allah, rasul, kitab sucinya, hari akhirat dan yang menyangkut dengan pokok
pokok akidah dan ibadah lainya. Demikian juga nash-nash yang menentukan
pokok-pokok keutamaan, seperti: menghormati orang tua, jujur, adil, menunaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya dan sebagainya. Demikian pula nash-nash
yang menunjukkan kepada pokok-pokok keburukan, seperti: syirik, membunuh orang
tanpa hak, durhaka kepada orang tua, dusta, aniaya, dan seterusnya.
2.
Nash-nash yang
mencakup hukum-hukum dalam bentuk yang dikuatkan atau ditentukan berlaku
selamanya. Misalnya tidak diterimanya persaksian penuduh zina (kasus li’an)
untuk selamanya. ولا تقبل لهم شهادة ابدا
3.
Nash-nash yang
menunjukan kejadian atau berita yang telah terjadi pada masa lampau. Misalnya
berita bangsa tsamud, ‘Ad. Menasakh-kan yang demikian berarti mendustakan
berita tersebut.
Muhammad abu zahrat memberikan syarat-syarat nash-nash yang dapat
dinasikh yaitu:
1.
Hukum yang di nasikh-kan
tidak menunjukan berlaku abadi, sebagaimana telah disebukan diatas.
2.
Hukum yang
dinasikh-kan bukan suatu hukum yang disepakati oleh akal sehat tentang baiknya
atau buruknya. Misalnya kejujuran (baik), aniaya (buruk) dan lain lain.
3.
Haruslah ayat nasikhat
datang setelah ayat mansukhat.
4.
Keadaan kedua
nash tersebut saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan satu sama lain.
Syaikh manna’ Khalil al qattan dalam
bukunya juga menyebutkan beberapa syarat dalam nasikh mansukh, diantaranya
adalah:
1.
Hukum yang
dihapus adalah hukum syara;
2.
Dalil
penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian.
3.
Khitab yang
dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi) denagn waktu
tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya
waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan nasakh.
Dari sini dapat kita ketahui betapa pentingnya pengetahuan mengenai
nasakh mansukh, terutama bagi para fuqaha’, mufassir, ahli usul, dan lainya.
Maka, bagaimana kita dapat mengetahui nasikh dan mansukh, disini ada beberapa
cara untuk mengetahui naskh dan mansukh, melalui beberapa cara berikut;
1)
Nasakh yang
shorih dari rasulullah SAW
2)
Keterangan para
sahabat
3)
Perlawanan yang
tidak dapat dikompromikan, serta mengetahui tarikh turunya ayat ayat itu.
Hikmah
adanya Nasakh Mansukh
Al-Maraghi menyatakan bahwa nasakh
dan mansukh itu ada hikmah-hikmahnya, beliau menegaskan bahwa;
Hukum-hukum tidak akan diundangkan kecuali untuk kemaslahatan
manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat
sehingga apabila ada hukum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya
kebutuhan yang mendesak kemudian kebutuhan berakhir,maka hal itu merupakan
suatu tindakan bijaksana apabila hukum yang diundangkan tersebut di nasakh
(dibatalkan) dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan waktu
tersebut,sehingga dengan demikian hukum itu akan jadi lebih baik dari hukum
semula atau sama dari aspek manfaatnya untuk hamba-hamba Allah.
Adapun
hikmah adanya Nasakh Mansukh yaitu:
1.
Memelihara
kemaslahatan hamba.
2.
Perkembangan tasyri’
menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan
kondisi umat manusia.
3.
Cobaan dan
ujian bagi seorang mukallaf apakah mengikutinya atau tidak.
4.
Menghendaki
kebaikan dan kemudaahan bagi umat.Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang
lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala,dan jika beralih ke hal
yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.
5.
Agar
pengetahuan hukum tidak menjadi kacau dan kabur,sebagaimana perkataan Ali r.a
kepada seorang hakim:
التعرف
الناسخ والمنسوح قال:لا,قال:هلكت و اهلكت
Diriwayatkan,
Ali pada suatu hari melewati seseorang hakim lalu bertanya: Apakah kamu
mengetahui Nasakh dan Mansukh?,’’tidak’’ jawab hakim itu,maka kata Ali
‘’celakalah kamu, dan kamu akan mencelakakan orang lain’’.
Dari uraian diatas, telah dapat disimpulkan apa
sebenarnya yang dimaksud nasikh dan mansukh termasuk di dalamnya syarat-syarat,
pembagian nasikh mansukh, begitu juga hikmah yang terkandung dengan adanya
nasikh mansukh. Kemudian di bagian akhir ini terdapat beberapa hal yang
berkaitan dengan nasikh mansukh yang juga seyogyanya kita ketahui, untuk
memperkaya khazanah keilmuan. Berikut ini adalah beberapa hal yang masuk dalam
pembahasan nasakh mansukh:
1. Contoh-contoh Nasakh Mansukh
As suyuti
menyebutkan dalam Al-Itqan sebanyak dua puluh satu ayat yang dipandang sebagai
ayat-ayat mansukh. Inilah beberapa contohnya:
1.Firman Allah:’’Dan kepunyaan Allah lah
yang dari timur dan barat,maka kemana kamu pun menghadap disitulah wajah Allah.’’(Al-Baqarah
2:115) dinasakh oleh ayat:’’Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.’’(Al-Baqarah:44).Ada
yang berpendapat inilah yang benar,bahwa ayat pertama tidak dinasakh
sebab ia berkenaan dengan sholat sunnah dalam perjalanan yang dilakukan di atas
kendaraan,juga dalam keadaan takut dan darurat.Dengan demikian,hukum ayat ini
tetap berlaku,sebagaimana yang dijelaskan dalam Ash-shahihain.Sedang
ayat kedua berkenaan dengan sholat fardhu lima waktu.Dan yang benar,ayat kedua
ini menasakh perintah menghadap baitul maqdis.
2.Firman Allah:’’Diwajibkan atas
kamu,apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda kem-atian),jika ia
meninggalkan harta,berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya…’’(Al-Baqarah
180).Dikatakan ayat ini mansukh oleh
ayat tentang kewarisan dan oleh hadist:
‘’Sesungguhnya
Allah telah memberikan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan haknya,maka
tidak ada wasiat bagi orang waris’’.(HR.Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
3.Firman Allah:’’Dan wajib bagi mereka
yang kuat menjalankan puasa (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah…’’(Al-Baqarah:184).Ayat
ini dinasakh oleh:
‘’Maka
barangsiapa yang menyaksikan bulan Ramadhan,hendaklah ia berpuasa….’’(Al-Baqarah:185).Hal
ini berdasarkan keterangan dalam Ash-Shahihain,berasal dari Salamah bin
Al-Akwa’,’’ketika turun ayat ini,maka orang yang ingin tidak berpuasa ia
membayar fidyah,sehingga turun ayat sesudahnya yang menasakhnya.’’
4.Firman Allah:’’Dan orang-orang yang
akan meninggal dunia diantara kamu dan meninggalkan istri,hendaklah berwasiat
untuk istri-istrinya,(yaitu)di beri nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak
disuruh keluar (dari rumahnya)…(Al-Baqarah:240).Ayat ini dinasakh oleh:
‘’Dan
orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan istri-istri
(hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh
hari.’’(Al-Baqarah:234).
5.Firman Allah:’’Jika kamu melahirkan
apa yang ada didalam hatimu atau kamu menyembunyikannya,niscaya Allah akan
membuat perhitungan,dengan kamu tentang perbuatan itu…(Al-Baqarah:284).Ayat
ini dinasakh oleh firman-Nya,’’Allah tidak membebani seorang yang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya.(Al-Baqarah:286).
2. Ruang lingkup nasakh
Ruang
lingkup nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan
dengan tegas dan jelas, maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar)
yang bermakna amar (perintah) atau nahy (larangan), jika hal tersebut tidak
berhubungan dengan persoalan akidah, yang berfokus kepada zat allah,
sifat-sifatnya, kitab-kitabnya, para rasulnya dan hari kemudian, serta tidak
berkaitan pula dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan
muamalah. Hal ini karena semua syari’at ilahi tiak lepas dari pokok-pokok
tersebut. dan naskh juga tidak terdapat dalam kalimat khabar yang tidak
bermakna thalab (tuntutan:perintah/larangan), seperti janji (al-wa’d) dan
ancaman (al-wa’id). Lantas mengapa yang berkaitan dengan akidah, dasar-dasar
akhlak dan etika, pokok-pokok ibadah dan muamalat dan berita makhdoh tidak
mengalami nasakh? Karena syari’at ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut
dalam prinsip ini semua syari’at sama yaitu tidak mengalami nasakh. Jelaslah
dari keterangan diatas bahwa yang mengalami nasakh itu hanya pada hal-hal yang
bersifat furu’ ibadah dan furu’ mu’amalah saja.
3. Surat dalam al-qur’an ditinjau dari nasikh
dan mansukh
a. Surat yang di dalamnya tidak terdapat
nasikh dan mansukh, termasuk dalam golongan ini ada 43 surat, yaitu: alfatihah,
yusuf, yaasin, hujuraat, ar-rohman, al hadid, as shof, al jum’ah, at tahrim, al
mulk, al haqqoh, nuh, al jinn, al mursalat, an naba’, an nazi’at, al infithor
dan 3 surat sesudahnya, al fajr dan surat sesudahnya sampai terakhir kecuali at
tin, al asr, dan al kafirun.
b. Surat yang di dalamnya terdapat nasikh dan
mansukh, termasuk dalam golongan ini ada 25 surat, yaitu: al baqarah, dan 3
surat sesudahnya, al hajj, an nur, al ahzab, saba’, al mu’minun, as syuaro, ad
dzariyat, at thuur, al waqiah, al mujadalah, al muzammil, al mudatsir, alkautsar,
dan al asr.
c. Surat yang di dalamnya hanya terdapat
nasikh, termasuk dalam golongan ini ada 6 surat, yaitu: al fath, al hasyr,
al munafiqun, at taghobun, at tholaq, dan al a’la
d. Surat yang di dalamnya hanya terdapat
mansukh, termasuk dalam golongan ini adalah 40 surat yang tidak tercantum dalam
ketiga kategori diatas.
4. Pendapat-pendapat mengenai nasakh mansukh
Dalam masalah nasakh, para ulama membagi ke
dalam empat golongan, yaitu:
1. Golongan orang yahudi. Mereka tidak
mengakui adanya naskh, karena menurutnya, dalam nasakh mengandung konsep bada’
(arab), yakni tampak jelas setelah kabur. Yang dimaksud adalah, nasakh itu
adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi allah. Dan adakalanya karena
sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak Nampak. Ini berarti terdapat suatu
kejelasan yang di dahului oleh ketidak jelasan. Dan hal ini juga mustahil bagi
allah.
Cara berdalil mereka ini tidak dapat
dibenarkan, sebab masing-masing hikmah nasikh dan mansukh telah diketahui allah
lebih dahulu. Jadi pengetahuanya tentang hikmah tersebut bukan hal yang baru
muncul. Ia membawa hamba hambanya dari satu hukum ke hukum yang lain adalah
karena suatu maslahat yang telah diketahuinya jauh sebelum itu, sesuai dengan
hikmah dan kekuasaan-Nya yang absolut terhadap segala miliknya.
2. Orang syi’ah rafidah. Mereka sangat
berlebihan dalam menetpkan nasakh dan meluaskanya. Mereka memandang konsep
al-bada’ merupakan sesuatu yang mungkin terjadi bagi allah. Dengan demikian, maka
posisi mereka sangat kontradiksi dengan orang yahudi. Untuk mendukung
pendapatnya itu, mereka mengajukan argumentasi dengan ucapan-ucapan yang mereka
nisbahkan kepada Ali R. A secara dusta dan palsu. Juga dengan firman allah;
يمحو الله ما يشاَء و يثبت......................
“allah menghapus dan menetapkan apa yang
dia kehendaki…..” (ar-ra’d/13:39), dengan pengertian bahwa allah siap untuk
menghapuskan dan menetapkan.
Paham demikian merupakan kesesatan yang dalam dan penyelewengan
terhadap al-qur’an. Sebab makna ayat tersebut adalah: allah menghapuskan
sesuatu yang dipandang perlu dihapuskan dan menetapkan penggantinya jika
penetapanya mengandung maslahat. Disamping itu, penghapusan dan penetapan
terjadi dalam banyak hal, misalnya menghapuskan keburukan dengan kebaikan.
3.
Abu muslim
al-asfahani. Menurutnya, secara logika nasakh dapat saja terjadi, tetapi tidak
mungkin terjadi menurut syara’. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya
terjadi nasakh dalam alqur’an berdasarkan fieman allah surat fussilat/41:42,
dengan pengertian bahwa hukum-hukum qur’an tidak akan dibatalkan untuk
selamanya, dan mengenai ayat ayat tentang nasakh semuanya ia takhsiskan.
Adapun pendapat abu muslim ini tidak dapat diterima, karena makna
ayat tersebut ialah, bahwa qur’an tidak didahului oleh kitab-kitab yang
membatalkanya dan tidak datang pula sesudahny sesuatu yang membatalkanya.
4.
Jumhur ulama’.
Mereka berpendapat bahwa naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan
telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:
a.
Perbuatan-perbuatan
alah tidak bergantung pada alasan dan tujuan, ia boleh saja memerintahkan
sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya
dialah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hambanya.
b.
Nash-nash kitab
dan Sunnah menunjukkan kebolehan naskh dan terjadinya nasakh, seperti firman
allah
وإذا بدّلنا آية مكان
آية.........................
“dan apabila kami mengganti suatu ayat
dengan ayat yang lain……”
ما ننسخ من آية أو ننسها نأت بخير
منها أو مثلها......
“ayat yang kami batalkan atau kami
hilangkan dari ingatan, pasti kami ganti dengan yang lebih bik atau yang
sebanding denganya…..”(al-baqarah/2: 106).
KESIMPULAN
Pertama, demi
mempermudah kemaslahatan hambanya allah telah menghapus sebagian hukum dalam
alqur’an yang mana hukum yang dihapus disebut dengan mansukh, dan hukum yang
menghapus disebut nasikh.
Kedua,
pada umumnya para ulama’ membagi nasakh mansukh menjadi empat bagian, yaitu; 1)
nasakh qur’an dengan qur’an, 2) nasakh Sunnah dengan Sunnah, 3) nasakh qur’an
dengan Sunnah, dan yang ke 4) nasakh Sunnah dengan qur’an. Adapun nasakh ijma’
dengan ijma’ atau qiyas dengan qiya maka tidak diperbolehkan.
Ketiga,
hikmah naskah secara umum diantaranya adalah;1. Memelihara kemaslahatan hamba,
2. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan
perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia, 3. Cobaan dan ujian
bagi seorang mukallaf apakah mengikutinya atau tidak, 4. Menghendaki kebaikan
dan kemudaahan bagi umat.Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang lebih berat
maka di dalamnya terdapat tambahan pahala,dan jika beralih ke hal yang lebih
ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan, 5. Agar pengetahuan hukum
tidak menjadi kacau dan kabur.
Keempat,
dalam nasikh mansukh, terdapat beberapa syarat diantaranya;
1.
Hukum yang
dihapus adalah hukum syara;
2.
Dalil
penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian.
3.
Khitab yang
dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu
tertentu.
Selain itu, ruang lingkup nasikh mansukh hanya terdapat pada ayat
ayat yang menjelaskan tentang hukum syari’at yang berkenaan dengan amar
(perintah), nahy (larangan) serta kalimat yang mengandung makna tholab
(perintah), dan hanya terjadi pada hukum furu’, bukan hukum asal.
Kelima,
dalam alqur’an ditinjau dari adanya nasikh mansukh, maka surat di dalam
alqur’an terbagi menjadi empat bagian; 1) surat yang didalamnya terdapat nasikh
dan mansukh, 2) surat yang di dalamnya tidak terdapat nasikh dan mansukh, 3)
surat yang di dalamnya hanya terdapat nasikh, dan 4) surat yang di dalamnya
hanya terdapat mansukh.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Haris, “nasakh dan mansukh dalam alqur’an”,TAJDID Vol. XIII (jambi,
Januari-Juni 2014) 208
Anwar,
Abu. 2005. Ulumul qur’an sebuah pengantar. Jakarta:amza
Baidan,
Nashruddin. 2005. Wawasan baru ilmu tafsir. Jakarta:pustaka pelajar
Madyan,
Ahmad Syams, 2008, Peta pembelajaran alqur’an, Jakarta:pustaka pelajar
Muhammad,
1986, zubdatul itqon fi ulumil qur’an, Jeddah:daar syuruq
Qattan,
Manna’ Khalil, 2008, studi ilmu ilmu qur’an, Jakarta:pustaka pelajar
Qattan,
Manna’, 2008, pengantar studi ilmu qur’an, edisi ke 2, diterjemahkan
oleh aunur rofiq el mazni, Jakarta:pustaka al kautsar
Shihab,
Quraisy, 1992, membumikan alqur’an, Bandung:mizan
Syadali,
Ahmad dan Rofi’I, 2000, ulumul qur’an I, Bandung:CV. Pustaka setia
NASIKH
MANSUKH
Isna
Asyaroh Makiyah Kartika Sari, Eni’matul Masruroh
Mahasiswa
jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial kelas E
Angkatan
2015
Fakultas
ilmu tarbiyah dan keguruan
Universitas
Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
E-mail: isnamecca@gmail.com
Abstrak
Al
qur’an merupakan firman allah yag diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui
malaikat jibril sebagai pedoman hidup bagi manusia di dunia dan di akhirat. Di
dalam al-qur’an terkandung tata cara, atau hukum hukum yang mengatur kehidupan
manusia, akan tetapi karena kehidupan berjalan dinamis dan kondisi manusia selalu
berubah, maka diperlukan adanya perubahan dan pembaharuan hukum yang relevan
dengan kondisi manusia. Maka disinilah terlihat hikmah dari adanya nasikh dan
mansukh, yang pada hakekatnya ditetapkan oleh Allah SWT untuk memudahkan hidup
manusia.
Abstract
Al Qur'an is the word of Allah that revealed to prophet Muhammad SAW through the angel Gabriel as guidelines For human life in the world and hereafter. In the quran contained system, or the laws that set the human Life, but because life goes dynamic and human condition always change, it is necessary to change and reform the laws that are relevant to the human condition. So this is where seen the wisdom of their nasikh and mansukh, which is essentially determined by Allah SWT to facilitate human life.
Keyword: alqur’an, nasikh, mansukh
Pendahuluan
Pembahasan
nasikh dan mansukh merupakan salah satu pembahasan penting dalam ilmu tafsir,
karena sebagaimana kita ketahui bahwa ayat ayat al-qur’an memiliki keterkaitan
antara satu ayat dengan lainya, yang mana tidak menutup kemungkinan akan
menimbulkan adanya kontradiksi. Begitu pula kondisi kehidupan yang berubah
seiring berkembangnya zaman, menimbulkan adanya perubahan-perubahan dalam hukum
hukum syari’at yang mana tujuanya untuk mempermudah hidup manusia. Ilmu nasikh
dan mansukh dibutuhkan dalam memahami ilmu alqur’an, karena nasikh dan mansukh
juga berkaitan dengan pembahasan lainya seperti takhsis, asbabun nuzul, Dsb.
Tulisan
ini memuat tentang nasikh dan mansukh, termasuk di dalamnya adalah pengertian
nasikh dan mansukh baik dari segi Bahasa atau istilah, bentuk-bentuk nasikh dan
mansukh, hikmah adanya nasikh dan mansukh, dan beberapa hal lain yang berkaitan
dengan nasikh dan mansukh. Yang diharapkan mampu membantu pembaca dalam
memahami ilmu nasakh dan mansukh.
Pengertian
Nasikh dan mansukh
Secara etimologi (bahasa): Nasakh dapat berarti izalah yang artinya
menghilangkan atau meniadakan.Dalam al-Qur’an dinyatakan:
فَيَنْسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ
آيَاتِهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيم
”Kemudian
Allah meniadakan atau menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan,lalu Allah
memperkuat ayat-ayat-Nya.Allah Maha Mengetahui dan Mahabijaksana.”(QS.Al-Hajj:52).
Dalam ungkapan orang Arab juga dikatakan: nasakhat asy-syamsu
azh-zhilla (matahari menghilangkan bayang-bayang itu).
Kata nasakh juga berarti التحويل
(pengalihan).Seperti pengalihan harta warisan (تناسح
الموارس).Maksudnya perpindahan harta warisan dari seseorang kepada
orang lain.
Kata nasakh juga berarti التبديل (mengganti
atau menukar sesuatu dengan yang lain) ini dapat kita lihat pada ayat yang
berbunyi:
وَإِذَا
بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ
Dan jika Kami gantikan sebuah ayat dengan
ayat yang lain (QS.An-Nahl: 101).
Kata nasakh juga berarti النقل artinya menyalin,memindahkan atau
mengutip apa yang ada didalam buku,sebagai contoh:
نسحت الكتاب
Aku memindahkan atau mengutip isi buku
persis menurut kata dan penulisannya. Dalam
al-Quran juga dijelaskan:
إِنَّا كُنَّا نَسْتَنْسِخُ مَا
كُنْتُمْ تَعْمَلُون
“sesungguhnya Kami menyuruh untuk menasakh
apa dahulu kalian kerjakan.’’(Al-Jatsiyah:29).Maksudnya,Kami(Allah) memindahkan
amal perbuatan ke dalam lembaran-lembaran catatan amal.
Secara terminologi (istilah):Nasakh adalah pengahapusan
suatu hukum syara’ dan pengantiannya dengan hukum syara’ lain yang turun
sesudahnya. Ayat yang mengahapus ini kemudian diistilahkan dengan nama Nasikh,sedang
ayat yang terhapus diistilahkan sebagai Mansukh.
Nasakh secara istilah juga dapat dikategorikan pada dua
kategori,yaitu kategori menurut ulama Mutaqaddimin (abad I hingga abad III) dan
ulama Mutaakhirin. Para ulama mutaqaddimin memperluas arti naskh sehingga
mencakup: (a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang
ditetapkan kemudian; (b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang
bersifat khusus yang datang kemudian; (c) penjelasan yang datang kemudian
terhadap hukum yang bersifat samar; (d) penetapan syarat terhadap hukum
terdahulu yangbelum bersyarat.
Bahkan ada diantara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan
hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah manjadi mansukh apabila
ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti misalnya
perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode mekkah disaat kamu
muslim, dianggap telah di naskh oleh perintah atau izin berperang pada periode
Madinah, sebagaimana ada yang beranggapan bahwa ketetapan hukum islam yang
membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-islam merupakan bagian dari
pengertian naskh.
Pengertian yang demikian luas tersebut lalu dipersempit oleh para
ulama’ mutaakhirin. Menurut mereka naskh terbatas pada ketentuan hukum yang
datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya
masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku
adalah yang ditetapkan terakhir.
Sedangkan Mansukh adalah hukum yang
diangkat (الحكم المرتفع ) atau yang dihapuskan. Misalnya pada ayat
yang menjelaskan tentang warisan (mawarits),yang mengahapuskan (nasikh)
hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat,sebagaimana yang dijelaskan
pada ayat ini.
“Allah
mewasiatkan kepada kamu tentang pembagian pusaka untuk anak kamu,bahwa bagi
anak laki-laki mendapat harta pusaka dua kali lipat anak perempuan….’’(QS.An-Nisa
:11).
Ayat ini
menasikhan hukum wasiat dari ibu dan bapak kepada anak mereka.
“Diwajibkan
atasmu (umat Islam),’’Bila kematian telah dekat kepada salah seorang
kamu,bila dia meninggalkan harta, ialah agar berwasiat bagi ibu bapa dan para
karibnya dengan baik.Itu suatu kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa’’.(QS.Al-Baqarah: 180).
Bentuk-bentuk nasikh dan mansukh dalam alqur’an
Naskh dalam alqur’an ada tiga macam:
Pertama, naskh tilawah (bacaan) dan hukumnya. Misalnya apa yang
di riwayatkan oleh muslim dan yang lain, dari aisyah, ia berkata:
كان فيما أنزل عشر رضعات معلومات
يحرّمن فنسخن بخمس معلومات. فتوفّي رسول الله صلّى الله عليه وسلّم (وهنّ ممّا
يقرأ من القرآن)
“diantara yang diturunkan kepada beliau
adalah ‘sepuluh susuan yang maklum itu menyebabkan muhrim’, kemudian
(ketentuan) ini dinaskh oleh “lima susuan yang maklum’. Maka ketika rasulullah
wafat ‘lima susuan’ ini termasuk ayat qur’an yang dibaca.”
Kata-kata aisyah, “lima susuan ini
termasuk ayat al-qur’an yang dibaca,” pada lahirnya menunjukan bahwa tilawahnya
masih tetap. Tetapi tidak demikian halnya, karena ia terdapat dalam mushaf
utsmani. Kesimpulan demikian dijawab, bahwa yang dimaksud dengan perkataan
aisyah tersebut ialah ketika beliau menjelang wafat.
Yang jelas ialah bahwa tilawahnya
itu telah dinasakh (dihapuskan) tetapi penghapusan ini tidak sampai kepada
semua orang kecuali sesudah rasulullah wafat. Oleh karena itu ketika beliau
wafat, sebagian orang masih tetap membacanya.
Kedua,
nasakh hukumnya saja, sedang tilawahnya tetap. Contoh dari naskh ini adalah
ayat iddah, sedangkan tilawahnya tetap. Mengenai naskh macam ini banyak
kitab-kitab karangan yang mana di dalamnya terdapat bermacam-macam ayat, yang
mana ayat-ayat tersebut setelah diteliti ternyata sedikit jumlahnya, seperti
yang dijelaskan oleh qadi abu bakr ibnul-arabi.
Dalam hal naskh ini mungkin timbul pertanyaan, apakah hikmah
penghapusan hukum sedang tilawahnya tetap?
Jawabanya ada dua segi:
1.
Qur’an,
disamping disamping dibaca untuk diketahui dan diamalkan hukumnya, juga dibaca
karena ia adalah kalamullah yang membacanya mendapatkan pahala. Maka
ditetapkanlah tilawah karena hikmah ini.
2.
Pada umumnya
naskh itu untuk meringankan. Maka ditetapkan tilawah untuk mengingatkan akan nikmat
dihapuskanya kesulitan (masyaqqoh).
Ketiga, naskh tilawah, sedang hukumnya tetap. Seperti contoh ayat yang
menerangkan tentang rajam
الشيخ و الشيخة اذا زنيا فارجموهما
البتّة نكالا من الله والله عزيز حكيم
“orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya
berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari allah.
Dan allah maha perkasa lagi maha bijaksana”.
Sementara itu sebagian ahli ilmu
tidak mengakui naskh semacam ini, sebab khabarnya adalah khabar ahad. Padahal
tidak dibenarkan memastikan turunya al-qur’an dan naskhnya dengan khabar ahad.
Ibnul hassar menjelaskan, naskh itu sebenarnya kembali ke nukilan (kutipan
keterangan) yang jelas dari rasulullah , atau dari sahabat, seperti perkataan
“ayat ini menasakh ayat anu.” Naskh, jelasnya lebih lanjut , dapat ditetapkan
pula ketika terdapat pertentangan pasti (tidak dapat dipertemukan) serta
diketahui sejarahnya, untuk mengetahui mana yang terdahulu dan mana pula yang
datang kemudian. Disamping itu, naskh tidak dapat didasarkan pada pendapat para
mufassir yang awam. Bahkan tidak pula pada ijtihad para mujtahid, tanpa ada
nukilan yang benar dan tanpa ada pertentangan pasti. Sebab naskh mengandung
arti penghapusan dan penetapan suatu hukum yang telah tetap pada masa nabi.
Jadi, yang menjadi pegangan dalam hal ini hanyalah nukilan dan sejarah, bukan
ra’y dan ijtihad. Lebih lanjut ia menjelaskan, manusia dalam hal ini berada
diantara dua sisi yang saling bertentangan. Ada yang berpendapat bahwa khabar
ahad yang di riwayatkan perawi adil tidak dapat diterima dalam hal naskh. Dan
ada pula yang menganggap enteng sehingga mencukupkan dengan pendapat seorang
mufassir atau mujtahid. Dan yang benar ialah kebalikan dari kedua pendapat ini.
Mungkin akan dikatakan, sesungguhnya
ayat dan hukum yang ditunjukanya adalah dua hal yang saling berkaitan, sebab
ayat merupakan dalil bagi hukum. Dengan demikian, jika ayat dinasakh maka
secara otomatis hukumnya pun dinasakh pula. Jika tidak demikian, hal tersebut
akan menimbulkan kekaburan.
Pendapat demikian dijawab, bahwa
keterikatan antara ayat dengan hukum tersebut dapat diterima jika syari’
(allah, rasul) tidak menegakkan dalil atas naskh tilawat dan ketetapan
hukumnya, tetapi jika syari’ telah menegakkan dalil bahwa suatu tilawah telah
dihapuskan sedang hukumnya tetap berlaku, maka keterkaitan itu pun batil. Dan
kekaburan pun akan sirna dengan dalil syar’i yang menunjukan naskh tilawah
sedang hukumnya tetap.
Pembagian naskh
Naskh ada empat bagian:
Pertama,
naskh qur’an dengan qur’an. Naskh ini disepakati kebolehanya serta diyakini
oleh mereka yang mempercayai adanya naskh. Misalnya, ayat yang menjelaskan
tentang idah empat bulan sepuluh hari.
Kedua,
naskh qur’an dengan Sunnah. Naskh ini ada dua macam:
A.
Naskh qur’an
dengan hadits ahad. Jumhur berpendapat, qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadits
ahad, sebab qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadits ahad
adalah dzanni (bersifat dugaan), disamping itu, tidak sah pula menghapus
sesuatu yang ma’lum (sudah diketahui) dengan sesuatu yang madznun (di duga).
B.
Naskh qur’an
dengan hadits mutawatir. Naskh demikian dibolehkan oleh malik, abu hanifah dan
ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah
berfirman:
وما
ينطق عن الهوى. ان هو الّا وحي يوحى
“dan tidaklah yang diucapkanya itu (qur’an)
menurut keinginanya. Tidak lain (qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya). “ (an-najm/53:4-5), dan firmanya pula:
وانزلنا اليك الذكرى لتبيّن للنّاس ما
نزّل اليهم و لعلّهم
“……dan kami turunkan az-zikr (qur’an )
kepadamu, agar engkau menerangkan kepaada manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka……” (an-nahl/16:44). Dan naskh itu sendiri merupakan suatu
penjelasan.
Dalam hal ini asy-syafi’I, ahli zahir dan ahmad dalam riwayatnya
yang lain menolak bentuk naskh ini, berdasarkan firman allah:
ما ننسخ من آية أو ننسها نأت بخير
منها أو مثلها......
“ayat yang kami batalkan atau kami
hilangkan dari ingatan, pasti kami ganti dengan yang lebih baik atau yang
sebanding denganya…..” (al-baqoroh/2:106). Sedangkan dalam hal ini, hadits
tidak lebih baik dari qur’an atau sebanding dengan qur’an menurut mereka.
Ketiga,
naskh Sunnah dengan qur’an. Hal ini diperbolehkan oleh jumhur ulama. Sebagai
contoh adalah masalah menghadap baitul maqdis yang ditetapkan dalam Sunnah dan
di dalam al-qur’an tidak ada dalil yang menunjukkanya. Kemudian ketetapan itu
dinasakh oleh qur’an dalam firman allah ta’ala
فولّ وجهك شطر المسجد الحرام
“….maka hadapkanlah wajahmu ke arah
masjidil haram….” (al-baqarah/2:144)
Tetapi naskh ini juga ditentang oleh syafi’I dalam salah satu
riwayat. Menurutnya, apa saja yang ditetapkan Sunnah tentu didukung oleh
qur’an, dan apa saja yang ditetapkan oleh qur’an tentu didukung oleh Sunnah.
Hal ini karena antara kitab (qur’an ) dengan Sunnah harus senantiasa sejalan
dan tidak boleh bertentangan.
Keempat,
naskh Sunnah dengan Sunnah. Dalam kategori naskh ini terdapat empat bentuk: 1)
naskh mutawatir dengan mutawatir, 2) naskh ahad dengan ahad, 3) naskh ahad
dengan mutawatir, dan 4) naskh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk pertama diperbolehkan,
sedang pada bentuk keempat terjadi silang pendapat seperti halnya naskh
al-qur’an dengan hadis ahad, yang tidak diperbolehkan oleh para jumhur.
Adapun menasakh ijma’ dengan ijma’
ataupun qiyas dengan qiyas, atau menasakh dengan keduanya, maka menurut
pendapat yang shahih maka hukumnya tidak diperbolehkan.
Abd wahhab khallaf menjelaskan bahwa
tidak semua nash dalam al-qur’an atau hadits pada masa rasulullah dapat di
nasakh-kan. Berikut ini adalah ciri-ciri yang tidak dapat dinasakh:
1.
Nash-nash yang
berisi hukum hukum pokok yang tidak berubah oleh perubahan keadaan manusia,
baik atau buruk, atau dalam situasi apapun. Misalnya kewajiban percaya kepada
allah, rasul, kitab sucinya, hari akhirat dan yang menyangkut dengan pokok
pokok akidah dan ibadah lainya. Demikian juga nash-nash yang menentukan
pokok-pokok keutamaan, seperti: menghormati orang tua, jujur, adil, menunaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya dan sebagainya. Demikian pula nash-nash
yang menunjukkan kepada pokok-pokok keburukan, seperti: syirik, membunuh orang
tanpa hak, durhaka kepada orang tua, dusta, aniaya, dan seterusnya.
2.
Nash-nash yang
mencakup hukum-hukum dalam bentuk yang dikuatkan atau ditentukan berlaku
selamanya. Misalnya tidak diterimanya persaksian penuduh zina (kasus li’an)
untuk selamanya. ولا تقبل لهم شهادة ابدا
3.
Nash-nash yang
menunjukan kejadian atau berita yang telah terjadi pada masa lampau. Misalnya
berita bangsa tsamud, ‘Ad. Menasakh-kan yang demikian berarti mendustakan
berita tersebut.
Muhammad abu zahrat memberikan syarat-syarat nash-nash yang dapat
dinasikh yaitu:
1.
Hukum yang di nasikh-kan
tidak menunjukan berlaku abadi, sebagaimana telah disebukan diatas.
2.
Hukum yang
dinasikh-kan bukan suatu hukum yang disepakati oleh akal sehat tentang baiknya
atau buruknya. Misalnya kejujuran (baik), aniaya (buruk) dan lain lain.
3.
Haruslah ayat nasikhat
datang setelah ayat mansukhat.
4.
Keadaan kedua
nash tersebut saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan satu sama lain.
Syaikh manna’ Khalil al qattan dalam
bukunya juga menyebutkan beberapa syarat dalam nasikh mansukh, diantaranya
adalah:
1.
Hukum yang
dihapus adalah hukum syara;
2.
Dalil
penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian.
3.
Khitab yang
dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi) denagn waktu
tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya
waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan nasakh.
Dari sini dapat kita ketahui betapa pentingnya pengetahuan mengenai
nasakh mansukh, terutama bagi para fuqaha’, mufassir, ahli usul, dan lainya.
Maka, bagaimana kita dapat mengetahui nasikh dan mansukh, disini ada beberapa
cara untuk mengetahui naskh dan mansukh, melalui beberapa cara berikut;
1)
Nasakh yang
shorih dari rasulullah SAW
2)
Keterangan para
sahabat
3)
Perlawanan yang
tidak dapat dikompromikan, serta mengetahui tarikh turunya ayat ayat itu.
Hikmah
adanya Nasakh Mansukh
Al-Maraghi menyatakan bahwa nasakh
dan mansukh itu ada hikmah-hikmahnya, beliau menegaskan bahwa;
Hukum-hukum tidak akan diundangkan kecuali untuk kemaslahatan
manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat
sehingga apabila ada hukum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya
kebutuhan yang mendesak kemudian kebutuhan berakhir,maka hal itu merupakan
suatu tindakan bijaksana apabila hukum yang diundangkan tersebut di nasakh
(dibatalkan) dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan waktu
tersebut,sehingga dengan demikian hukum itu akan jadi lebih baik dari hukum
semula atau sama dari aspek manfaatnya untuk hamba-hamba Allah.
Adapun
hikmah adanya Nasakh Mansukh yaitu:
1.
Memelihara
kemaslahatan hamba.
2.
Perkembangan tasyri’
menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan
kondisi umat manusia.
3.
Cobaan dan
ujian bagi seorang mukallaf apakah mengikutinya atau tidak.
4.
Menghendaki
kebaikan dan kemudaahan bagi umat.Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang
lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala,dan jika beralih ke hal
yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.
5.
Agar
pengetahuan hukum tidak menjadi kacau dan kabur,sebagaimana perkataan Ali r.a
kepada seorang hakim:
التعرف
الناسخ والمنسوح قال:لا,قال:هلكت و اهلكت
Diriwayatkan,
Ali pada suatu hari melewati seseorang hakim lalu bertanya: Apakah kamu
mengetahui Nasakh dan Mansukh?,’’tidak’’ jawab hakim itu,maka kata Ali
‘’celakalah kamu, dan kamu akan mencelakakan orang lain’’.
Dari uraian diatas, telah dapat disimpulkan apa
sebenarnya yang dimaksud nasikh dan mansukh termasuk di dalamnya syarat-syarat,
pembagian nasikh mansukh, begitu juga hikmah yang terkandung dengan adanya
nasikh mansukh. Kemudian di bagian akhir ini terdapat beberapa hal yang
berkaitan dengan nasikh mansukh yang juga seyogyanya kita ketahui, untuk
memperkaya khazanah keilmuan. Berikut ini adalah beberapa hal yang masuk dalam
pembahasan nasakh mansukh:
1. Contoh-contoh Nasakh Mansukh
As suyuti
menyebutkan dalam Al-Itqan sebanyak dua puluh satu ayat yang dipandang sebagai
ayat-ayat mansukh. Inilah beberapa contohnya:
1.Firman Allah:’’Dan kepunyaan Allah lah
yang dari timur dan barat,maka kemana kamu pun menghadap disitulah wajah Allah.’’(Al-Baqarah
2:115) dinasakh oleh ayat:’’Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.’’(Al-Baqarah:44).Ada
yang berpendapat inilah yang benar,bahwa ayat pertama tidak dinasakh
sebab ia berkenaan dengan sholat sunnah dalam perjalanan yang dilakukan di atas
kendaraan,juga dalam keadaan takut dan darurat.Dengan demikian,hukum ayat ini
tetap berlaku,sebagaimana yang dijelaskan dalam Ash-shahihain.Sedang
ayat kedua berkenaan dengan sholat fardhu lima waktu.Dan yang benar,ayat kedua
ini menasakh perintah menghadap baitul maqdis.
2.Firman Allah:’’Diwajibkan atas
kamu,apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda kem-atian),jika ia
meninggalkan harta,berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya…’’(Al-Baqarah
180).Dikatakan ayat ini mansukh oleh
ayat tentang kewarisan dan oleh hadist:
‘’Sesungguhnya
Allah telah memberikan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan haknya,maka
tidak ada wasiat bagi orang waris’’.(HR.Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
3.Firman Allah:’’Dan wajib bagi mereka
yang kuat menjalankan puasa (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah…’’(Al-Baqarah:184).Ayat
ini dinasakh oleh:
‘’Maka
barangsiapa yang menyaksikan bulan Ramadhan,hendaklah ia berpuasa….’’(Al-Baqarah:185).Hal
ini berdasarkan keterangan dalam Ash-Shahihain,berasal dari Salamah bin
Al-Akwa’,’’ketika turun ayat ini,maka orang yang ingin tidak berpuasa ia
membayar fidyah,sehingga turun ayat sesudahnya yang menasakhnya.’’
4.Firman Allah:’’Dan orang-orang yang
akan meninggal dunia diantara kamu dan meninggalkan istri,hendaklah berwasiat
untuk istri-istrinya,(yaitu)di beri nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak
disuruh keluar (dari rumahnya)…(Al-Baqarah:240).Ayat ini dinasakh oleh:
‘’Dan
orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan istri-istri
(hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh
hari.’’(Al-Baqarah:234).
5.Firman Allah:’’Jika kamu melahirkan
apa yang ada didalam hatimu atau kamu menyembunyikannya,niscaya Allah akan
membuat perhitungan,dengan kamu tentang perbuatan itu…(Al-Baqarah:284).Ayat
ini dinasakh oleh firman-Nya,’’Allah tidak membebani seorang yang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya.(Al-Baqarah:286).
2. Ruang lingkup nasakh
Ruang
lingkup nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan
dengan tegas dan jelas, maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar)
yang bermakna amar (perintah) atau nahy (larangan), jika hal tersebut tidak
berhubungan dengan persoalan akidah, yang berfokus kepada zat allah,
sifat-sifatnya, kitab-kitabnya, para rasulnya dan hari kemudian, serta tidak
berkaitan pula dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan
muamalah. Hal ini karena semua syari’at ilahi tiak lepas dari pokok-pokok
tersebut. dan naskh juga tidak terdapat dalam kalimat khabar yang tidak
bermakna thalab (tuntutan:perintah/larangan), seperti janji (al-wa’d) dan
ancaman (al-wa’id). Lantas mengapa yang berkaitan dengan akidah, dasar-dasar
akhlak dan etika, pokok-pokok ibadah dan muamalat dan berita makhdoh tidak
mengalami nasakh? Karena syari’at ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut
dalam prinsip ini semua syari’at sama yaitu tidak mengalami nasakh. Jelaslah
dari keterangan diatas bahwa yang mengalami nasakh itu hanya pada hal-hal yang
bersifat furu’ ibadah dan furu’ mu’amalah saja.
3. Surat dalam al-qur’an ditinjau dari nasikh
dan mansukh
a. Surat yang di dalamnya tidak terdapat
nasikh dan mansukh, termasuk dalam golongan ini ada 43 surat, yaitu: alfatihah,
yusuf, yaasin, hujuraat, ar-rohman, al hadid, as shof, al jum’ah, at tahrim, al
mulk, al haqqoh, nuh, al jinn, al mursalat, an naba’, an nazi’at, al infithor
dan 3 surat sesudahnya, al fajr dan surat sesudahnya sampai terakhir kecuali at
tin, al asr, dan al kafirun.
b. Surat yang di dalamnya terdapat nasikh dan
mansukh, termasuk dalam golongan ini ada 25 surat, yaitu: al baqarah, dan 3
surat sesudahnya, al hajj, an nur, al ahzab, saba’, al mu’minun, as syuaro, ad
dzariyat, at thuur, al waqiah, al mujadalah, al muzammil, al mudatsir, alkautsar,
dan al asr.
c. Surat yang di dalamnya hanya terdapat
nasikh, termasuk dalam golongan ini ada 6 surat, yaitu: al fath, al hasyr,
al munafiqun, at taghobun, at tholaq, dan al a’la
d. Surat yang di dalamnya hanya terdapat
mansukh, termasuk dalam golongan ini adalah 40 surat yang tidak tercantum dalam
ketiga kategori diatas.
4. Pendapat-pendapat mengenai nasakh mansukh
Dalam masalah nasakh, para ulama membagi ke
dalam empat golongan, yaitu:
1. Golongan orang yahudi. Mereka tidak
mengakui adanya naskh, karena menurutnya, dalam nasakh mengandung konsep bada’
(arab), yakni tampak jelas setelah kabur. Yang dimaksud adalah, nasakh itu
adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi allah. Dan adakalanya karena
sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak Nampak. Ini berarti terdapat suatu
kejelasan yang di dahului oleh ketidak jelasan. Dan hal ini juga mustahil bagi
allah.
Cara berdalil mereka ini tidak dapat
dibenarkan, sebab masing-masing hikmah nasikh dan mansukh telah diketahui allah
lebih dahulu. Jadi pengetahuanya tentang hikmah tersebut bukan hal yang baru
muncul. Ia membawa hamba hambanya dari satu hukum ke hukum yang lain adalah
karena suatu maslahat yang telah diketahuinya jauh sebelum itu, sesuai dengan
hikmah dan kekuasaan-Nya yang absolut terhadap segala miliknya.
2. Orang syi’ah rafidah. Mereka sangat
berlebihan dalam menetpkan nasakh dan meluaskanya. Mereka memandang konsep
al-bada’ merupakan sesuatu yang mungkin terjadi bagi allah. Dengan demikian, maka
posisi mereka sangat kontradiksi dengan orang yahudi. Untuk mendukung
pendapatnya itu, mereka mengajukan argumentasi dengan ucapan-ucapan yang mereka
nisbahkan kepada Ali R. A secara dusta dan palsu. Juga dengan firman allah;
يمحو الله ما يشاَء و يثبت......................
“allah menghapus dan menetapkan apa yang
dia kehendaki…..” (ar-ra’d/13:39), dengan pengertian bahwa allah siap untuk
menghapuskan dan menetapkan.
Paham demikian merupakan kesesatan yang dalam dan penyelewengan
terhadap al-qur’an. Sebab makna ayat tersebut adalah: allah menghapuskan
sesuatu yang dipandang perlu dihapuskan dan menetapkan penggantinya jika
penetapanya mengandung maslahat. Disamping itu, penghapusan dan penetapan
terjadi dalam banyak hal, misalnya menghapuskan keburukan dengan kebaikan.
3.
Abu muslim
al-asfahani. Menurutnya, secara logika nasakh dapat saja terjadi, tetapi tidak
mungkin terjadi menurut syara’. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya
terjadi nasakh dalam alqur’an berdasarkan fieman allah surat fussilat/41:42,
dengan pengertian bahwa hukum-hukum qur’an tidak akan dibatalkan untuk
selamanya, dan mengenai ayat ayat tentang nasakh semuanya ia takhsiskan.
Adapun pendapat abu muslim ini tidak dapat diterima, karena makna
ayat tersebut ialah, bahwa qur’an tidak didahului oleh kitab-kitab yang
membatalkanya dan tidak datang pula sesudahny sesuatu yang membatalkanya.
4.
Jumhur ulama’.
Mereka berpendapat bahwa naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan
telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:
a.
Perbuatan-perbuatan
alah tidak bergantung pada alasan dan tujuan, ia boleh saja memerintahkan
sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya
dialah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hambanya.
b.
Nash-nash kitab
dan Sunnah menunjukkan kebolehan naskh dan terjadinya nasakh, seperti firman
allah
وإذا بدّلنا آية مكان
آية.........................
“dan apabila kami mengganti suatu ayat
dengan ayat yang lain……”
ما ننسخ من آية أو ننسها نأت بخير
منها أو مثلها......
“ayat yang kami batalkan atau kami
hilangkan dari ingatan, pasti kami ganti dengan yang lebih bik atau yang
sebanding denganya…..”(al-baqarah/2: 106).
KESIMPULAN
Pertama, demi
mempermudah kemaslahatan hambanya allah telah menghapus sebagian hukum dalam
alqur’an yang mana hukum yang dihapus disebut dengan mansukh, dan hukum yang
menghapus disebut nasikh.
Kedua,
pada umumnya para ulama’ membagi nasakh mansukh menjadi empat bagian, yaitu; 1)
nasakh qur’an dengan qur’an, 2) nasakh Sunnah dengan Sunnah, 3) nasakh qur’an
dengan Sunnah, dan yang ke 4) nasakh Sunnah dengan qur’an. Adapun nasakh ijma’
dengan ijma’ atau qiyas dengan qiya maka tidak diperbolehkan.
Ketiga,
hikmah naskah secara umum diantaranya adalah;1. Memelihara kemaslahatan hamba,
2. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan
perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia, 3. Cobaan dan ujian
bagi seorang mukallaf apakah mengikutinya atau tidak, 4. Menghendaki kebaikan
dan kemudaahan bagi umat.Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang lebih berat
maka di dalamnya terdapat tambahan pahala,dan jika beralih ke hal yang lebih
ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan, 5. Agar pengetahuan hukum
tidak menjadi kacau dan kabur.
Keempat,
dalam nasikh mansukh, terdapat beberapa syarat diantaranya;
1.
Hukum yang
dihapus adalah hukum syara;
2.
Dalil
penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian.
3.
Khitab yang
dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu
tertentu.
Selain itu, ruang lingkup nasikh mansukh hanya terdapat pada ayat
ayat yang menjelaskan tentang hukum syari’at yang berkenaan dengan amar
(perintah), nahy (larangan) serta kalimat yang mengandung makna tholab
(perintah), dan hanya terjadi pada hukum furu’, bukan hukum asal.
Kelima,
dalam alqur’an ditinjau dari adanya nasikh mansukh, maka surat di dalam
alqur’an terbagi menjadi empat bagian; 1) surat yang didalamnya terdapat nasikh
dan mansukh, 2) surat yang di dalamnya tidak terdapat nasikh dan mansukh, 3)
surat yang di dalamnya hanya terdapat nasikh, dan 4) surat yang di dalamnya
hanya terdapat mansukh.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Haris, “nasakh dan mansukh dalam alqur’an”,TAJDID Vol. XIII (jambi,
Januari-Juni 2014) 208
Anwar,
Abu. 2005. Ulumul qur’an sebuah pengantar. Jakarta:amza
Baidan,
Nashruddin. 2005. Wawasan baru ilmu tafsir. Jakarta:pustaka pelajar
Madyan,
Ahmad Syams, 2008, Peta pembelajaran alqur’an, Jakarta:pustaka pelajar
Muhammad,
1986, zubdatul itqon fi ulumil qur’an, Jeddah:daar syuruq
Qattan,
Manna’ Khalil, 2008, studi ilmu ilmu qur’an, Jakarta:pustaka pelajar
Qattan,
Manna’, 2008, pengantar studi ilmu qur’an, edisi ke 2, diterjemahkan
oleh aunur rofiq el mazni, Jakarta:pustaka al kautsar
Shihab,
Quraisy, 1992, membumikan alqur’an, Bandung:mizan
Syadali,
Ahmad dan Rofi’I, 2000, ulumul qur’an I, Bandung:CV. Pustaka setia